TEMPO.CO, Jakarta -Pernikahan atau nikah muda menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah pernikahan yang dilakukan pada usia kurang dari 21 tahun.
Laman plan–international-org menyebutkan pernikahan muda menurut Unicef terjadi tertinggi di Afrika Sub-Sahara ada 38 persen pernikahan anak perempuan, sedangkan di Asia Selatan terjadi kenaikan hingga 30 persen, 17 persen di Timur Tengah dan Afrika Utara dan 11 persen di Eropa dan Asia Tengah.
Pernikahan muda ini tentu memiliki efek dalam segala bidang kehidupan, misalanya terbatasnya akses pendidikan, minimalnya peluang ekonomi, pengaruhi tingginya risiko kekerasa dalam rumah tangga, juga terutama di sisi kesehatan.
Dampak ini dijelaskan dalam iwhj.org, wanita yang menikah muda (usia di bawah 15 tahun) jika terjadi kehamilan yang tidak terencana mungkin terjadinya kelahiran prematur atau keguguran, pendarahan hingga kematian ibu.
Selain itu, perempuan yang nikah muda dengan sistem reproduksi yang belum cukup matang berisiko cedera terkait kehamilan yang lebih tinggi, misalnya fistula kebidanan.
Kemudian pemahaman pendidikan seksual yang tidak cukup terkait praktik seksual yang lebih aman sangat berisiko tinggi terhadap HIV dan infeksi menular seksual lainnya
Selain itu, pernikahan muda dengan kondisi keuangan yang tidak stabil, berisiko terhadap kesejahteraan keluarga, mulai dari kondisi kesehatan ibu hingga anak. Seperti anak yang mengalami gizi buruk.
Dalam Journal of Nutrition College,menyebutkan dalam penelitiannya menyebutkan ada 72 batita yang ibunya menikah dini alias nikah muda sekali di Kecamatan Gemawang dan Bulu memiliki rerata usia pada saat ini 10,4±7,16 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan panjang badan sesuai umur (PB/U) terdapat 29,2 persen subjek berstatus gizi pendek, sedangkan berdasarkan Berat Badan sesuai umur (BB/U) 15,3 persen subjek berstatus gizi kurang.